Jayapura, Malanesianews – Aktivis dan tokoh perempuan Papua menyayangkan hasil selaksi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) khususnya (Pokja) Agama yang diumumkan oleh Gubernur Papua dalam Surat Nomor 161.1/77-5/SET pada 10 Juli 2023 lalu. Pasalnya, mereka menilai hasil seleksi tidak sesuai aturan yang berlaku.
Doliana Yakadewa selaku Aktivis Jaker Tiki HAM Perempuan Papua mengatakan, seharusnya pemilihan anggota MRP dari unsur agama itu memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan daerah, seperti Sinode yang berkedudukan di Tanah Papua, berusia minimal 50 tahun dalam pelayanannya.
Justru sebaliknya, Sinode Gereja Bathel Gereja Pentakosta (GBGP) di Tanah Papua yang lahir 17 Oktober 1956 atau lebih dari 50 tahun, tidak diakomodir. Padahal, GBGP lebih dulu lahir dibanding GKI di Tanah Papua.
“Dalam aturan rekrutmennya, Sinode harus ada di Tanah Papua, penyebarannya 50 persen dan berbadan hukum. Kami menilai penitia pemilihan anggota MRP tidak memperhatikan kriteria, dalam hal ini melanggar peraturan daerah dan ini mengecewakan, mengingat MRP marupakan lembaga kultur yang ada di Provinsi Papua,” ungkapnya.
Doliana meminta, pemilihan Calon Anggota MRP, khususnya Pokja Agama ini tidak diintervensi dengan kepentingan tertentu. Apalagi, jika bukan representasi kultur terutama di wilayah Adat Tabi dan Saereri.
Lebih lanjut ia mengatakan, seharusnya penitia pemilihan anggota MRP harus melihat kelayakan sesuai dengan persyaratan dari peraturan daerah tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP.
“Ini kejahatan terstruktur atas nama Tuhan. Apalagi, tidak melihat aturan yang ada. Untuk itu, kami tolak hasilnya.” tegasnya.
Sebabnya GBGP yang merupakan penster pertama yang mengikuti GKI di Tanah Papua, tidak diakomodir.
“Saru kursipun dari perwakilan GBGP tidak dapat,” sesal Doliana.
Padahal, GBGP lahir sejak tahun 1956 atau lebih dari 50 tahun di Tanah Papua. Sebenarnya mereka tidak mendapat kursi MRP, tapi Gereja lain seperti Baptis West Papua justru dapat kursi.
“Gereja ini Sinodenya dimana, apa itu Gereja West Papua, jangan bikin konflik atau dipolitisir dalam pemilihan calon anggota MRP ini atau itu tidak boleh,” bebernya.
Dia pun berencana akan menggugat keputusan tersebut ke PTUN, karena dinilai tidak sesuai regulasi.
“Kami akan menggugat ke PTUN terhadap Penpil dan siapapun yang terlibat,” tegasnya.
Ia meminta, agar seleksi anggota MRP tidak dilakukan hanya untuk kepentingan oknum tertentu. Sebab MRP hadir untu memenuhi kebutuhan orang Papua.
“Tidak boleh ada oknum-oknum yang ingin meracuni agama di atas tanah ini, jangan memasukkan nama-nama baru, gereja-gereja baru dan Sinode baru yang tumbuh seperti jamur ditengah musim hujan,” tuturnya.
(AIS)