Jakarta, Malanesianews, – Hari ini merupakan peringatan Hari Pahlawan Nasional, yang diperingati setiap tanggal 10 November.
Hari Pahlawan diperingati diseluruh bagian Nusantara, tidak terkecuali dari Papua.
Pada tahun 2020 Papua menyumbangkan satu nama lagi dalam album pahlawan nasional. Gelar itu dinobatkan atas nama Machmud Singgirei Rumagesan asal Papua Barat. Dia dikenal sebagai raja lokal di Distrik Kokas, Fakfak yang menentang Belanda sejak zaman kolonial.
Sebelum Machmud Singgirei Rumagesan, telah tercatat empat pahlawan nasional asal Papua. Mereka antara lain Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare. Ketiganya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1993. Kemudian, Johannes Abraham Dimara menjadi pahlawan pada 2010. Satu dekade berselang, Rumagesan masuk dalam daftar anyar yang tercatat sebagai pahlawan nasional kelima asal Papua.
Siapa dan bagaimana kiprah mereka? Berikut ulasannya.
Frans Kaisiepo
Lahir di Pulau Biak, 10 Oktober 1921. Merupakan murid dari Soegoro Atmoprasodjo, seorang tahanan politik eks Digulis. Frans Kaisiepo mendapat binaan dari Soegoro ketika menjadi siswa sekolah pamong praja di Kota Nica, Hollandia (kini Jayapura) pada 1945. Soegoro yang menjabat direktur asrama kerap menyisipkan gagasan ke-Indonesian terhadap para siswa. Dia kemudian merintis benih nasionalisme Indonesia di Papua.
Frans Kaisiepo merupakan orang pertama yang mengganti nama Papua menjadi Irian. Nama itu diperkenalkannya pada Konferensi Malino yang diselenggarakan Belanda, 18 Juli 1946. Gagasan tersebut lahir tidak lama setelah Frans Kaisiepo nekat menjumpai Soegoro di Penjara Hollandia.
“Frans Kaisiepo mengusulkan gagasan tersebut dan ini sangat mengejutkan pihak Belanda. Karena ia mengusulkan agar nama Papua dan Nederlands Nieuw Guine yang dipakai selama ini ditiadakan dan diganti dengan kata atau nama IRIAN,” tulis Pius Suryo Haryono dkk, dalam Pahlawan Nasional: Frans Kaisiepo.
Menurut Frans Kaisiepo, kata “Irian” berasal dari bahasa tempat kelahirannya, Pulau Biak. Secara harfiah artinya panas. Diadaptasi dari tradisi pelaut Biak yang melaut ke Pulau Papua. namun kemudian, kata Irian dipolitisasi menjadi Ikut Republik Anti Nederland.
Dalam aktifitas politiknya, Kaisiepo giat menentang Belanda dan pro integrasi dengan Indonesia. Dia kemudian menjadi gubernur Irian Barat yang menyukseskan penyatuan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Atas jasanya itu, pemerintah Indonesia menyematkan gelar pahlawan nasional.
Marthen Indey
Lahir di kampung Doromena, dekat kaki pegunungan Cyclops pada 16 Maret 1912. Seperti Frans Kaisiepo, Marthen Indey (disebut juga Marthin) juga salah satu murid ideologis Soegoro Atmoprasodjo. Marthen Indey punya latar belakang sebagai polisi sejak zaman kolonial dan tentara Sekutu berpangkat letnan pada Perang Dunia II. Dia kemudian menjadi instruktur polisi lokal “Batalion Papua” yang membawa perkenalannya kepada Soegoro.
Pada pergantian tahun 1945, Marthen Indey pernah terlibat pemberontakan untuk membebaskan Soegoro dari penjara Hollandia. Sayangnya, aksi itu berujung dengan kegagalan. Kematian salah satu anak buahnya dalam pemberontakan itu menggugah kemarahan Marthen Indey terhadap Belanda.
Marthen Indey selanjutnya terlibat dalam aktifitas menyiarkan proganda anti-Belanda. “Dia mendesak para pejabat NIT (Negara Indonesia Timur) agar tetap mempertahankan Irian Barat, dan menolak kemauan Belanda untuk memisahkan separuh pulau ini dari dari wilayah Republik Indonesia Serikat,” tulis George Junus Aditjondro dalam “Marthin Indey Pejuang Irian Barat” termuat di Prisma No.2, Februari 1987.
Karena ketahuan mencari dukungan dari tokoh-tokoh Maluku pro-Indonesia, Marthen ditangkap polisi Belanda pada 1947. Dia diganjar hukuman penjara selama tiga tahun. Ketika Indonesia melancarkan kampanye pembebasan Irian Barat, Marthen Indey ikut pasang badan. Dia berperan melindungi pendaratan pasukan infilitrasi Indonesia selama Operasi Trikora. Pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai anggota MPRS mewakili Irian Barat, setelahnya Marthen pensiun sebagai orang sipil.
Silas Papare
Silas Papare lahir di Serui, 18 Desember 1918. Berlatar belakang sebagai juru rawat, Silas kemudian diperbantukan sebagai tentara Sekutu berpangkat sersan pada Perang Dunia II. Pasca-perang, Silas kembali menjadi perawat. Pemerintah Belanda menggunakan Silas Papare sebagai penasihat mantri di sekolah pamong praja di Kota Nica. Dari situlah Silas kemudian berkenalan dengan Soegoro Atmoprasodjo dan Marthen Indey.
Pada akhir 1946, Silas bersama Marthen Indey dan Corinus Krey mempengaruhi Batalion Papua untuk mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Mereka bertujuan mewujudkan kemerdekaan di Papua. Rencana itu bocor karena seorang anggota batalion yang berkhianat
“Belanda mendatangkan bantuan dari Rabaul (Papua Timur). Akibatnya Silas Papare dan Marthin Indey ditangkap dan dipenjarakan di Hollandia (Jayapura),” tulis Onnie Lumintang, dkk dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare. Dari penjara di Pulau Biak, Silas Papare kemudian dipindahkan ke Pulau Serui.
Di Serui, Silas Papare bertemu dengan Samuel Ratulangi, tokoh nasionalis Indonesia asal Minahasa yang juga diasingkan pemerintah Belanda. Bersama Ratulangi, Silas Papare kemudian membentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII).
Pada 1950-an, Silas melebarkan sayap perjuangannya dengan hijrah ke Pulau Jawa. Di Yogyakarta, Silas terlibat dalam pembentukan Badan Perjuangan Irian. Kemudian, pemerintah Indonesia menunjuknya membentuk Biro Irian di Jakarta. Hingga pada 1962, Silas menjadi anggota delegasi Indonesia dari Papua dalam Perjanjian New York yang menandai kemenangan Indonesia dalam sengketa Irian Barat.
Johannes Abraham Dimara
Lahir di Korem, Biak Utara, 16 April 1916, namun Dimara besar di Ambon, Maluku. Orang-orang memanggilnya dengan nama “Johanes Papua”. Pada zaman pendudukan Jepang, Dimara bertugas sebagai anggota Heiho (sejenis Hansip) di Pulau Buru.
Di Perairan Namlea pada April 1946, Dimara berkenalan dengan Yosaphat Soedarso, seorang perwira Angkatan Laut Indonesia yang sedang mengadakan ekspedisi ke Maluku. Dari perkenalan itulah Dimara mengetahui tentang kemedekaan Indonesia. Dimara kemudian terlibat dalam peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di Namlea. Dimara meneruskan perjuangannya dengan bergabung menjadi tentara dalam Batalion Pattimura, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pada Juli 1950, pasukan Dimara diberangkatkan ke Ambon untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pimpinan Soumokil.
Sebagai putra asli Papua, Dimara diangkat menjadi ketua Organisasi Pembebasan Irian (OPI). Atas mandat dari Presiden Sukarno, Dimara bersama 40 anggotanya berangkat ke Irian Barat untuk melawan Belanda. Nahas, pada akhir Oktober 1954, Dimara beserta anak buahnya tertangkap dan dipenjarakan ke Boven Digul.
“Di sana ia dipisahkan dari anak buahnya. Mereka umumnya disiksa dengan tangan dirantai. Meski sudah di dalam tahanan, tangan mereka tetap diborgol,” tulis Carmelia Sukmawati Roring dalam Fa Ido Ma, Ma Ido Fa: J.A. Dimara Lintas Perjuangan Putra Papua.
Setelah tujuh tahun mendekam dipenjara, Dimara akhirnya bebas. Presiden Sukarno kemudian mengutusnya sebagai salah satu delegasi Indonesia ke PBB untuk merundingkan sengketa Irian Barat. Sosok Dimara disebut-sebut sebagai citra yang menginspirasi monumen pembebasan Irian Barat yang terletak di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Machmud Singgirei Rumagesan
Lahir di Kokas, Fakfak, Papua Barat pada 27 Desember 1885. Pada 1915, pemerintah kolonial Belanda menunjuk Rumagesan sebagai kepala distrik Kokas. Kendati ditunjuk Belanda, Rumagesan bertentangan dengan pemerintah yang memberinya mandat itu. Rumagesan menuntut maskapai minyak Belanda yang membuka pertambangan di Kokas agar mempekerjakan penduduk pribumi dan tidak berlaku semena-mena.
Sikap vokalnya menuai banyak dukungan rakyat. Tapi itu juga yang membuat Rumagesan dipenjara berkali-kali oleh pemerintah Belanda. Muhammad Husni Thamrin, waktu itu anggota Dewan Rakyat Hindia Belanda pernah menolong Rumagesan agar masa tahanannya dikurangi dari lima belas menjadi tujuh tahun. Sepanjang Belanda berkuasa, Rumagesan telah mencicipi berbagai penjara di pelosok Papua seperti Saparua, Sorong Doom, Manokwari, Hollandia, dan Makassar.
”Setelah Rumagesan ditempatkan di penjara Manokwari, beliau berhasil memengaruhi dan menghasut para pemuda Irian (Papua) yang menjadi tentara Belanda.” tulis Rosmaida dan Abdul Syukur dalam Singgirei Rumagesan: Pejuang Integrasi Papua. Rumagesan juga menyadarkan para pemuda itu tentang pentingnya kemerdekaan bangsa dan negara.
Pada 1953 Machmud Rumagesan mendirikan organisasi pembebasan Irian Barat di Makassar bernama Gerakan Tjenderawasi Revolusioner Irian Barat (GTRIB). Tujuannya membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari Belanda. Pada 1954, Rumagesan diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sekaligus yang pertama dari Papua.
Begitu getolnya Rumagesan menyerukan Irian Barat harus kembali ke Indonesia sehingga Presiden Sukarno memberikan julukan “Si Jago Tua” dari Irian Barat. Rumagesan wafat pada 5 Juli 1964. Kendati demikian, Si jJgo Tua itu sempat menyaksikan Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia seperti yang dicita-citakannya.