Jakarta, Malanesianews, – Akibat pemanasan global dan perubahan iklim, termasuk El Nino, salju terakhir di puncak sekitar Gunung Puncak Jaya, Papua, Indonesia, terancam hilang pada 2026
Buat masyarakat adat di sekitar puncak, gunung bersalju dianggap sakral, Maximus Tipagau (39), masyarakat adat Suku Moni yang mendiami Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengenang salju yang memenuhi memorinya sejak kecil.
“Salju ini bisa kami rasakan di kampung. Dinginnya saya bisa merasakan sampai hari ini. Setiap hari itu kami menikmati hujan es,” ujar Maximus.
Dari sekian banyak puncak, ada satu puncak sakral yang dinamai masyarakat adat Moni sebagai “Gunung Somatua”. Somatua dipercaya menjadi penerang dan cahaya bagi mereka.
Somatua berasal dari bahasa setempat yang berarti terang sepanjang siang dan malam.
“Kalau siang dari cahaya matahari, kalau malam dari (pancaran) es. Kalau es hilang, maka cahaya akan hilang,” ujarnya.
Maximus serta masyarakat adat Suku Moni lainnya adalah satu dari beberapa suku yang tinggal di daerah pegunungan di Papua Tengah.
Kampungnya, Ugimba, adalah desa tertinggi di Indonesia yang berada di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Ugimba berada di sekitar tiga puncak bersalju di Papua yang merupakan puncak tertinggi antara Gunung Himalaya dan Pegunungan Andes. Ketiganya yakni Puncak Carstensz (4.884 mdpl), Puncak Sumantri (4.808 mdpl) dan Puncak Ngga Pulu atau Soekarno (4.862 mdpl).
Jika ditarik garis lurus dari Ugimba ke Carstensz, jarak keduanya yakni 36 kilometer. Meski demikian, jalur pendakian bisa jauh lebih panjang dari angka tersebut.
Pada awal abad 20, saintis memetakan tutupan atau lapisan es yang disebut gletser di kawasan pegunungan ini. Setidaknya, terdapat tujuh puncak bersalju, yakni East Northwall Firn, West Northwall Firn, Meren, Carstensz, Wollaston, Van de Water, dan Southwall Hanging.
Namun, karena perubahan suhu dan iklim, kini salju yang ditemukan hanyalah East Northwall Firn, West Northwall Firn, dan Carstensz.
Citra satelit di bawah menunjukkan perubahan yang drastis pada tiga periode berbeda.
Menurut pengakuan Maximus yang dituturkan oleh moyangnya, gunung bersalju sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Ia mengingat momen masa kecilnya sekitar pertengahan abad 20 sembari tertawa, “Saya sering berburu kuskus (ke gunung) dengan ayah sejak usia enam tahun dan tidak pakai baju.”
Menilik ke belakang, pada 1850, luas area bersalju di sekitar Puncak Jaya sekitar 19 km2 atau seluas Bandara Soekarno Hatta di Tangerang.
Hampir satu abad kemudian, menyusut menjadi 13 km2 atau dua kali luas Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat.
Pengurangan es terjadi akibat kenaikan suhu 0,6°C sejak tahun 1850 hingga pertengahan abad 20.
Dalam kurun waktu hampir enam dekade setelahnya, es berkurang drastis menjadi 3 km2.
Pada 2005, salju di pegunungan tropis Indonesia tinggal seluas 1,8 km2.
Kini, kenaikan suhu yang kini mencapai 0,85°C per tahun mempercepat salju untuk mencair.
“Es ini besar dan banyak, putih warnanya. Biasanya warna putih memantulkan sinar matahari, jadi panas yang diserap es sedikit. Ketika es mengecil, lokasi sekitar berwarna lebih gelap, batuan di sekeliling es akan menyerap sinar matahari. Es akan habis tidak hanya dari suhu di atas tapi di permukaan,” ujar Donaldi Permana, Peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
BMKG melakuken ekspedisi pada 2010 dan 2015 di puncak salju East Nortwall Firn.
Pada 2010, ketebalan es tercatat 32 meter atau lebih dari empat kali lipat patung Bundaran HI. Dalam waktu lima tahun, ketebalan es berkurang 5,26 meter.
Pada 2015, terjadi El Nino dan perubahan cuaca yang sangat signifikan di Indonesia. Alhasil, dalam waktu satu tahun saja, ketebalan es berkurang sebanyak 5,69 meter. “Itu adalah salah satu El Nino terparah,” kata Donaldi.
Jumlah pengurangan ketebalan es ini meningkat dua kali lipat dalam rentang waktu lima tahun selanjutnya, yakni dari 2016 hingga 2021.
Kini, ketebalan es menyusut hanya tinggal sepertiga dari satu dekade sebelumnya. Ketebalan es diperkirakan berkurang 2,5 meter per tahun selama lima tahun belakangan.
“Kami juga menggunakan (penghitungan) permodelan, perkiraan es akan habis tidak lebih dari tahun 2026. Es sudah tidak akan bisa diselamatkan, kita hanya bisa mendokumentasikan proses hilangnya,” kata Donaldi.
Dari Dingo si anjing bernyanyi hingga tumbuhan pakis purba
Puncak bersalju berada di kawasan zona alpin, yakni daratan dengan ketinggian lebih dari 4.000 mdpl. Di kawasan ini, beragam fauna endemik ditemukan. Jika salju menipis, fauna ini akan terancam punah.
“Kalau spesies tertentu yang endemik, (habitatnya) terbatas di wilayah relung yang sempit, dia tidak bisa bermigrasi atau pindah ke pulai lain atau puncak gunung yang lain. Mereka ini akan terancam,” kata Kepala Taman Nasional Lorentsz Acha Anis Sokoy kepada BBC.
Taman Nasional Lorentz mencatat, setidaknya lima fauna yang ruang jelajahnya hingga ke salju, seperti anjing bernyanyi Dingo, kanguru pohon Mbaiso, burung isap madu elok, burung puyuh, dan burung Crested berrypecker.
Sementara di daratan bersalju dengan ketinggian 4.800 mdpl, tak ada tumbuhan yang ditemukan.
Flora yang mampu hidup di daratan tertinggi zona alpin, atau berkisal 4.000-4.500 mdpl, yakni rumput tussock alpin.
“Kalau salju menipis, rumput tussock alpin ini akan bergerak (tumbuh) ke atas,” kata Kepala Taman Nasional Lorentsz Acha Anis Sokoy.