Jelang Di Tetapkan Sebagai Tersangka, Bahar Farawowan : Irjend Ferdy Sambo Harus Belajar Dari Pendahulunya Mantan Kapolri Widodo Budidarmo

0
216
Kepala Polri ke-7 Jenderal (Purn) Widodo Budidarmo 26 Juni 1974 hingga 25 September 1978.

Jakarta, Malanesianews, – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut akan mengumumkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka baru dalam kasus pembunuhan Brigadir J alias Novriansyah  Yosua Hutabarat pada sore ini, Selasa, 9 Agustus 2022. Nama Ferdy menjadi sorotan setelah Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu mengubah keterangannya.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Demokrat Indonesia (DPP Pemuda Demokrat) Baharudin Farawowan mendukung komitmen Kapolri dalam menangani kasus yang melibatkan anak buahnya.

“ kalau kita ingat Saat berbicara dalam penutupan pendidikan Sespimti Polri Dikreg ke-30, Sespimen Polri Dikreg ke-31 dan Sespimma Polri Angkatan 66 di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021). Kapolri mengatakan Kalau ada yang tidak mampu,  kalau tidak mampu membersihkan ekor maka kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi,” Ujar Bahar Farawowan mengulangi ucapan kapolri saat itu.

Sejalan dengan apa yang disampaikan Kapolri saat ini dalam kasus tewasnya Brigadir Yosua Novriansyah Hutabarat lebih lanjut menurutnya Irjen Ferdy Sambo harus belajar dari jiwa negarawan pendahulunya mantan Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Widodo Budidarmo

Pada pertengahan Mei 1973 Jenderal Pol Widodo Budidarmo. Ketika itu, keluarga Widodo berduka setelah sopir keluarga mereka, Sugianto tertembak pistol yang dipegang Tono, putra Widodo yang saat itu baru duduk di bangku SMP

Peristiwa itu terjadi saat Widodo masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dengan pangkat mayor jenderal polisi. Ketika itu Tono dan Sugianto menjemput adiknya Tina di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Sebelum berangkat, rupanya Tono masuk ke kamar kerja Widodo di rumah dinas.

Saat itu, tidak seperti biasanya, Widodo lupa mengunci ruang kerjanya. Tono melihat sepucuk pistol di laci meja kerja ayahnya. Pistol itu dibawanya.

“ Dalam perjalanan, pistol itu diperlihatkan kepada Sugianto yang kemudian memberi Tono sebutir peluru. Saat menunggu Tina, di jok belakang Tono memainkan pistol itu. Ia ingin tahu cara kerja pistol itu. Dia putar-putar dan gerakkan hingga tiba-tiba pistol itu menyalak. Tono terperanjat dan panik saat melihat darah keluar dari tubuh Sugianto yang duduk di jok sopir “ Ujar Farawowan

Peristiwa itu membuat Widodo terkejut dan sedih. Dia yakin peristiwa itu akan menjadi berita di koran-koran. Sebagai orangtua dia juga membayangkan dampak buruk peristiwa itu bagi Tono.

Apa langkah Widodo berikutnya? Dia langsung mengumpulkan stafnya. Dia meminta masukan terhadap kasus yang menimpa anaknya. Ada staf yang menyarankan agar kasus ini ditutup-tutupi dengan alasan bisa memengaruhi karir Widodo.

Setelah berpikir, Widodo pun ambil keputusan. Dia tidak akan menutupi kasus itu. Dia memilih bertanggung jawab dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Widodo kemudian menyerahkan kasus ini agar diperiksa aparat Polsek Kebayoran Baru, Jaksel.

Selanjutnya Widodo melaporkan peristiwa itu kepada atasannya Kapolri Jenderal Polisi M Hasan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Menhankam/Pangab Jenderal M Panggabean. Widodo juga melapor kepada Presiden Soeharto. Dia mengaku lalai dan siap meletakkan jabatannya. Tetapi, semua menyatakan apa yang dialami Widodo adalah musibah yang harus diambil hikmahnya.

Tono kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dihukum masa percobaan selama setahun. Peristiwa itu terbukti tidak menghalangi karier Widodo Budidarmo. Dia bahkan dipromosikan untuk menjabat sebagai Kepala Polri tahun 1974.(MCS)

HITUNG MUNDUR PEMILU 2024