Bung Karno dan Lahirnya Istilah Halal Bi Halal

0
644

Jakarta,Malanesianews.com– Dulu, saat usia kemerdekaan RI masih seumur jagung, tepatnya 1948, Indonesia mulai dilanda gejala disintegrasi. Para elite politik bertengkar dan enggan duduk dalam satu forum. Kondisi ini diperparah dengan munculnya pemberontakan di berbagai daerah seperti DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun.

Untuk mencari solusi, Sukarno kemudian memanggil Kiai Abdul Wahab Hasbullah, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara. Muncullah saran dari Kiai Wahab agar Bung Karno menyelenggarakan silaturahmi karena sebentar lagi sudah hari raya Idul Fitri.
“Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” jawab Bung Karno.
“Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” kata Kiai Wahab. “Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’.”
Saran Kiai Wahab itu diterima Bung Karno. Oleh karena itu, pada Idul Fitri tahun 1948, Sukarno mulai mengundang semua tokoh politik untuk menghadiri silaturahmi di Istana Negara yang bertajuk ‘Halal bi Halal’. Dalam acara tersebut, akhirnya para tokoh dapat duduk dalam satu meja sebagai babak baru untuk menyusun persatuan bangsa.
Kisah tersebut diceritakan Rais Syuriyah Pengurus Besar NU, Kiai Masdar Farid Mas’udi, dalam NU Online. Sejak 1948 itulah instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan halalbihalal.
Halalbihalal kemudian mulai menjadi tradisi masyarakat secara luas, terutama muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. “Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah.”
“Jadilah halalbihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang,” ujar Kiai Masdar. (MCS)

HITUNG MUNDUR PEMILU 2024