Jakarta, Malanesianews, – Perekonomian Indonesia kembali mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,12 persen year-on-year pada kuartal II 2025, setelah sempat melambat di kuartal pertama. Pemerintah menyebut angka ini sebagai tanda bahwa ekonomi nasional mulai pulih dan kembali ke jalur yang sehat. Namun, muncul pertanyaan: apakah pertumbuhan tersebut benar mencerminkan penguatan ekonomi riil, atau sekadar angka yang tampak baik di atas kertas?
Beberapa ekonom menilai lonjakan tersebut bisa jadi bersifat sementara. Meski produk domestik bruto (PDB) meningkat, indikator seperti konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi belum menunjukkan kenaikan signifikan. Bahkan, sejumlah analis internasional mempertanyakan “kejutan positif” data tersebut, mengingat masih lemahnya daya beli masyarakat serta terbatasnya pertumbuhan kredit di sektor produktif. Jadi, apakah data pertumbuhan 5,12 persen ini cukup untuk menegaskan bahwa ekonomi benar-benar membaik?
Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia juga menjadi sorotan. Suku bunga acuan memang telah dipangkas untuk mendorong kegiatan ekonomi, sementara stimulus fiskal terus digulirkan lewat proyek infrastruktur dan bantuan sosial. Tetapi, di tengah defisit anggaran yang mencapai 1,35 persen dari PDB dan tekanan nilai tukar rupiah, muncul tanda tanya baru: apakah langkah-langkah ini akan cukup kuat menopang pertumbuhan dalam jangka panjang tanpa menambah beban fiskal negara?
Kini, dengan proyeksi pertumbuhan tahun ini sekitar 5 persen—lebih rendah dari target 5,2 persen—publik pun bertanya-tanya: apakah ekonomi Indonesia benar-benar sedang tumbuh atau justru menutupi persoalan struktural seperti rendahnya produktivitas, lemahnya ekspor, dan ketimpangan pendapatan? Di tengah euforia angka pertumbuhan, wajar jika muncul keraguan: apakah ekonomi nasional memang menguat, atau kita hanya sedang membaca optimisme statistik?