Krisis Lingkungan dan Sosial Picu Tuntutan Moratorium Tambang di Kawasan Timur

0
43

Jakarta, Malanesianews, – Seruan untuk menghentikan sementara penerbitan izin tambang kembali menggema dari kawasan timur Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi–Papua mendesak pemerintah agar segera memberlakukan moratorium izin pertambangan mineral dan batubara (minerba) di tingkat nasional maupun daerah. Desakan tersebut mencuat dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba dari Timur” yang digelar secara hybrid di Palu, Sulawesi Tengah.

PWYP Indonesia menilai, penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 telah membuka peluang ekspansi pertambangan yang lebih besar. Regulasi ini memungkinkan izin tambang diberikan kepada berbagai pihak, mulai dari koperasi, UKM, badan usaha keagamaan, hingga BUMN dan BUMD. Namun, di sisi lain, aktivitas tambang selama ini telah menimbulkan dampak serius berupa kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta ketimpangan ekonomi di tingkat lokal.

Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu, menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan menambah izin baru, melainkan melakukan moratorium untuk memperbaiki tata kelola yang sudah semrawut. Ia mencontohkan, produksi batu bara nasional telah jauh melampaui batas yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni maksimal 400 juta ton per tahun sejak 2019, sementara pada 2024 produksinya telah menembus 800 juta ton. “Kondisi ini menunjukkan ketidakseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan daya dukung lingkungan,” ujarnya.

Dari lapangan, berbagai organisasi lokal menyoroti dampak nyata pertambangan. Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU) Sulawesi Tengah menyebutkan bahwa investasi tambang belum membawa kesejahteraan bagi masyarakat, justru memicu banjir, krisis air bersih, dan deforestasi. WALHI Sulteng menegaskan perlunya jeda tambang untuk memulihkan ruang hidup rakyat. Dukungan juga datang dari YASMIB Sulawesi, LePMIL Sulawesi Tenggara, hingga lembaga PERDU di Papua yang menyoroti pentingnya menghormati hak masyarakat adat. Mereka sepakat bahwa moratorium bukan anti-investasi, tetapi langkah strategis untuk menata ulang izin, memperkuat keadilan sosial, serta memastikan pembangunan berkelanjutan di kawasan timur Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini