EKSPANSI NIKEL & DEFORESTASI: Sisi Gelap Investasi di Timur Indonesia

0
18

Jakarta, Malanesianews, – Kawasan Timur Indonesia kini menjadi pusat sorotan global terkait isu lingkungan hidup, di mana percepatan investasi menimbulkan dampak sosial dan ekologis yang meluas. Di Maluku Utara, terutama di Halmahera, “demam nikel” yang didorong oleh hilirisasi dan kebutuhan transisi energi global telah memicu kerusakan lingkungan yang serius. Berbagai laporan terbaru (Juni-Oktober 2025) menyoroti bagaimana aktivitas tambang nikel tidak hanya mencemari perairan pesisir, seperti di Desa Lelilief dan Teluk Weda, tetapi juga menyebabkan lonjakan kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat polusi udara dari PLTU captive industri. Selain itu, masyarakat lokal yang melawan perusakan lingkungan ini dilaporkan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi demi kepentingan industri.

Sementara itu di Papua, ancaman deforestasi terus berlanjut dengan laju yang mengkhawatirkan. Data hingga pertengahan 2025 menunjukkan bahwa kehilangan hutan primer di Papua bahkan melebihi angka tahun sebelumnya. Pendorong utama deforestasi ini adalah proyek infrastruktur skala besar dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, terutama di Sorong, Teluk Bintuni, dan kawasan selatan Papua. Aktivis dan WALHI Papua (April 2025) menyoroti bahwa perampasan wilayah adat menjadi konsekuensi langsung dari ekspansi ini, di mana korporasi besar terus membuka lahan meskipun beberapa izinnya telah dicabut, menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan.

Isu-isu ini diperparah oleh krisis iklim dan bencana hidrometeorologi yang kian terasa. Kota Ambon, Maluku, misalnya, menghadapi krisis air bersih (Februari 2025) akibat berkurangnya kawasan hutan tangkapan air yang beralih fungsi menjadi pemukiman, sementara cuaca ekstrem memicu longsor di belasan titik (Agustus 2025). Kondisi laut juga tidak luput dari ancaman; ekosistem penting seperti terumbu karang di Maluku terancam oleh overfishing dan praktik penangkapan yang merusak. Para ahli menekankan bahwa perubahan iklim di Maluku berdampak langsung pada ketidakstabilan ekonomi nelayan.

Melihat dampak kerusakan yang sudah meluas dan temuan JATAM (November 2025) mengenai abainya perlindungan negara terhadap warga dari dampak racun nikel di Halmahera, intervensi tegas sangat mendesak diperlukan. Pemerintah pusat dan daerah dihimbau untuk tidak lagi berkompromi dengan kepentingan industri ekstraktif yang merusak. Penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu terhadap korporasi pencemar harus segera dieksekusi. Lebih penting lagi, pencabutan seluruh izin-izin bermasalah serta pengakuan dan penghormatan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah kelolanya, adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan laju krisis ekologis dan sosial di Timur Indonesia sebelum terlambat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini